Refleksi: Ketika Kasih Berarti Lebih

July 13, 2016

“You’re familiar with the old written law, ‘Love your friend,’ and its unwritten companion, ‘Hate your enemy.’ I’m challenging that. I’m telling you to love your enemies. Let them bring out the best in you, not the worst. When someone gives you a hard time, respond with the energies of prayer, for then you are working out of your true selves, your God-created selves.

This is what God does. He gives His best—the sun to warm and the rain to nourish—to everyone, regardless: the good and bad, the nice and nasty.”

                                                                         —Matthew 5:43-47 MSG


Bagaimana kalau saya menulis dan berbagi mengenai kasih disini? Membaca ayat ini membuat saya harus mengakui: mengasihi, bagi saya saat ini, adalah hukum terutama yang paling sulit dilakukan dalam praktik iman kekristenan. Mengasihi yang membenci. Mengasihi tanpa mengenal lelah. Mengasihi tanpa syarat. Mengasihi dengan iman tanpa melihat yang terjadi. Mengasihi tanpa alasan lain selain ketulusan dan kesejatian. Mengasihi yang lain lebih dari diri sendiri. Mengasihi sampai terluka. Mengasihi sampai mati. Mengasihi seperti Yesus. Berat sekali.

Tentu, kebanyakan kita ingin take and give. Mengasihi jika kita dikasihi. Mengasihi jika mereka layak dikasihi. Mengasihi jika tidak menyalibkan diri sendiri. Mengasihi jika tidak menguras harga diri. Mengasihi jika keadaannya baik terkendali. Mengasihi jika kasih itu seperti apa yang kita ingini. Mengasihi jika ada banyak alasan rasional yang melatarbelakangi. Mengasihi jika ada imbalan kasih akan didapati. Mengasihi jika kasih terjadi sesuai dengan apa yang ada dalam imajinasiseperti kisah cerita novel atau drama, yang ditulis oleh manusia tapi sering dikonsumsi.

Sayangnya, mengasihi sebenarnya tidak pernah mengenai kita. Kasih yang sejati menempatkan Dia di nomor pertama-terutama, dan sesama setelahnya. Diri yang sebenarnya cenderung kita kasihi lebih dari keduanya, justru di urutan terakhir harus berada.


Photo by IV Horton on Unsplash
Bagi saya, kasih selalu menantang agar pusat diri berpindah. Dari kita ke sesama. Dari kita ke Tuhan yang dipuja. Disitulah kesulitannya. Karena terlalu sering kita tidak rela berpindah. Kita melihat sesama, lalu menjadi ragu. Kenapa kita harus memberi ketika kita tidak diberi? Kenapa kita harus berpindah ketika kita bisa tidak berpindah? Tapi apakah kasih mengenal relasi untung dan rugi?

Ketika itulah, kasih menjadi sebuah pilihan yang harus mantap ditentukan. Bukan hanya tentang siapa yang bisa kita kasihi dengan mata dan hati, tetapi juga tentang Dia yang tak kasat mata yang harus kita kasihi lebih dari siapa yang bisa kita kasihi di bumi, termasuk diri sendiri. Yang sudah lebih dulu mengasihi kita sebelum kita mengenal apa itu kasih yang sejati. Yang sudah lebih dulu mengasihi kita sehebat itu sampai mengorbankan tahta dan harga diri.

Kasih memang bukan perihal hitung sana dan sini. Kasih bukan sekedar tentang balas budi. Kasih juga bukan perintah soal kerjakan dan jangan kerjakan itu dan ini. Tapi mengenai kemauan hati: sebuah kerelaan yang mengalir karena anugerah tanpa alasan. Terlalu rumit untuk dijelaskan, hanya dapat sungguh-sungguh dijalani dan dialami dalam satu Pribadi.

Tuhan yang rela miskin agar yang dikasihi menjadi kaya. Tuhan yang rela patah agar yang dikasihi bahagia. Tuhan yang rela mati agar yang dikasihi merasakan hidup lagi. Tuhan yang rela menyalibkan diri agar yang dikasihi bisa kembali.

Bagaimana seandainya kasih adalah mengenai memberi lebih dari menerima? Bagaimana seandainya kasih meminta egoisme harus runtuh tanpa sisa? Bagaimana seandainya kasih membutuhkan kesabaran, pengampunan, kesetiaan, kepercayaan, ketekunan, ketulusan, kerendahan hati, dan keteguhan hati—lebih dari ekspektasi yang terealisasi? Bagaimana seandainya kasih menuntut pengorbanan sebesar nyawa di dalam diri?

Bagaimana seandainya kita tidak perlu alasan lain untuk mengasihi
selain karena Tuhan sendiri?

Sepertinya kita harus lebih menyiapkan hati.



p.s. :

Jujur, tulisan ini saya tulis untuk diri sendiri. Bukan karena saya sudah mampu mengasihi, kebalikannya. Untuk mengingatkan dan ber-re-refleksi. Agar tidak menyerah untuk dapat menjawab pertanyaan sendiri. Agar tidak menyerah untuk dapat terus mengasihi. Agar tidak menyerah untuk menjadi seperti Yesus yang diikuti. Karena, sungguh, saat ini saya ingin menyerah untuk mengasihi.


(Setelah Hari Hujan: Cikarang, 13 Juli 2016)

No comments:

Powered by Blogger.